Kamis, 26 Juli 2012

USAP WAJAH SEUSAI BERDO’A



Soal :   Apakah hukumnya mengusap wajah seusai berdo’a? Mohon dijelaskan! Jazakallahkhairan.  [033168xxxxx]

     Jawab :       


Mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdoa adalah permasalahan khilafiyah di kalangan para ulama. Di antara mereka ada yang menganjurkannya dan ada pula yang melarangnya. Namun, pendapat yang rajih (unggul) adalah me-ninggalkan perbuatan tersebut lantaran hadits-hadits yang menyebutkan tentang mengusap wajah setelah berdoa tidak lepas dari pembicaraan serta tidak masyhurnya perbuatan ini di kalangan para salaf.

Alasan tidak Dianjurkannya Mengusap Wajah Setelah Berdo’a

Alasannya karena tidak ada satu hadits shahih pun yang marfû’ kepada Nabi salallahu alaihi wa sallam tentang itu. Mengenai mengusap wajah seusai berdoa tercantum dibeberapa hadits dari sekelompok shahabat, di antaranya: ‘Umar bin al-Khaththâb, Ibnu ‘Abbâs, Yazîd bin Sa’îd al-Kindy radiahum, namun semua hadits ini cacat. Berikut penjelasannya hadits-hadits tersebut:

 َوَعَنْ عُمَرَ رضي الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا مَدَّ
يَدَيْهِ فِي اَلدُّعَاءِ لَمْ حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ يَرُدَّهُمَا
Dari ‘Umar bin al-Khaththâb radiahu, ia berkata, “Adalah Nabi salallahu alaihi wa sallam apabila mengangkat kedua tangannya sewaktu berdoa, beliau tidak me-ngembalikannya sebelum mengusap wajah-nya.” [Dha’îf [lemah]. HR. ‘Abdun bin Humaid dalam ‘Al-Muntakhab (39), at-Tirmidzi (33 86),  al-Hâkim (1/536), adz-Dzahaby da-lam ‘As-Siyar’ (11/68), ath-Thabrâni dalam ‘Al-Awsâth (7053), az-Zuhry dalam ‘Hadits-nya’ (juz 5/ 97/1)  At-Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadits gharîb, kami tidak mengeta-huinya melainkan dari hadits Hammâd ibnu ‘Isa.” Ibnu Hibbân dan al-Hâkim berkata, “Ia (Hammad) meriwayatkan hadits-hadits palsu dari ibnu Juraij dan lainnya.” Hadits di-lemahkan oleh imam Ahmad, Abu Hâtim, dan lainnya. Didhaifkan oleh al-Albâny dalam ‘Dhaif at-Tirmidzi (484)].


وعنْ ابنِ عبَّاس مرفُوعا: إذَا دَعَوْتَ اللهَ فَادْعُ بِبَاطِنِ كَفَّيْكَ ، وَلاَ تَدْعُ بِظُهُوْرِهِمَا، فَإِذَا فَرَغْتَ فَامْسَحْ بِهِمَا وَجْهَكَ

Dari Ibnu ‘Abbas radiallahu anhu, secara marfu’, “Apabila engkau berdoa kepada Allah maka berdoalah dengan perut kedua telapak tanganmu dan ja-nganlah engkau berdoa dengan punggung-nya. Dan jika engkau telah selesai berdoa maka usapkanlah keduanya ke wajahmu.” [Sanadnya Wâhin [lemah]. HR. Ibnu Mâjah (1181-3886), Muhammad bin Nashr dalam ‘Qiyâmul Lail’ (141), al-Baghawy (5/204), Ibnu Hibbân dalam ‘Al-Majrûhin’ (1/268), Al-Hâkim (1/536), Adz-Dzahaby dalam ‘Tadzkiratul Huffadz’ (2/616), Ibnul Jauzy dalam ‘Al-Wâhiyât (2/480). Dalam sanad hadits ini terdapat rawi yang bernama Shâlih bin Hassân. Imam Bukhâri berkata tentangnya, “Mungkarul hadits”, Ibnu Hajar  berkata, “Matruk”, Abu Hatim berkata, “Hadits mungkar.”]

عن يَزِيْد بِنْ سَعِيْد الكِنديِّ أَنَّ النَبِيَّ صَلى الله علَيْهِ وسلَّم كَانَ إِذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ، مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَديْهِ

Dari Yazîd bin Sa’îd al-Kindy, bahwa Nabi salallahu alaihi wa sallam apabila hendak berdoa, beliau mengang-kat kedua tangannya, serta mengusap wa-jahnya dengan keduanya (setelah berdoa).” [Dha’if. HR. Abu Dawud (1492) dan Abu Nu’aim dalam ‘Ma’rifatush shahâbah’ (66 14). Dalam sanad hadits ini terdapat rawi yang bernama Ibnu Lahi’ah. Ibnu Hajar dalam ‘Amâli al-Adzkâr’ berkata, “Dalam sanadnya ada ibnu Lahî’ah dan syaikhnya (Hafsh bin Hâsyim bin ‘Utbah bin Abi Waqqas) seorang yang majhul”].
--------------


Tiga hadits di atas tidak dapat saling menguatkan sehingga dikatakan derajatnya dapat dinaikkan pada posisi ‘hasan’ seba-gaimana yang dikatakan oleh ibn Hajar. Karena masing-masing dari tiga hadits di atas sta-tusnya teramat lemah.


 Atsar Ibnu ‘Umar dan Az-Zubar Radhi-yallâhu ‘anhuma : Dari Abu Nu’aim- dan beliau adalah Wahb- ia berkata, “Aku pernah melihat Ibnu ‘Umar dan Ibnu Az-Zubair berdoa, keduanya mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah.” [HR. Al-Bukhâri dalam ‘Adabul Mufrad’ (609). Dalam sanad atsar ini terdapat dua rawi yang bernama Muhammad bin Fulaih dan bapaknya. Kedu-anya adalah rawi yang padanya terdapat perbincangan. Al-Hâfidz Ibnu Hajar menilai hadits ini sebagai ha-
dits hasan begitu juga
as-Syaikh al-Arnâuth

dalam tahqiqnya untuk kitab ‘Jâmi’ul Ushûl Min Ahâditsir Rasûl’ sedang Asy- syaikh Al-bâni melemahkannya. Asy-Syaikh Abu Ishâq al-Huwayni dalam ‘Iqâmatud Dalîl’ berkata, “Terbuka kemungkinan akan kehasanan ha-dits ini”].

Komentar ulama tentang tidak bolehnya mengusap wajah seusai berdoa:

Imam Ahmad berkata, “Perbuatan ini tidak diketahui, bahwa Nabi mengusap wajahnya sesuai berdoa melainkan dari Has-san.” (Al-‘Ilal Al-Mutanâhiyah 2/840- 841).
Ibnu Taimiyyah berkata, “Adapun Nabi salallahu alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya sewaktu berdoa, maka hadits-hadits shahih tentang itu amatlah banyak. Adapun mengusap wajahnya dengan kedua tangannya (selepas berdoa) maka tidak ada hadits yang menyebutkan itu dari beliau melainkan satu atau dua hadits dan kedua hadits tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.”  (Majmû’ Al-Fatâwa 22/519).
Al-‘Izz bin ‘Abdus Salâm berkata, “Tidak ada yang mengusapkan tangannya kewajahnya seusai berdoa melainkan orang jahil.” (Fatâwa al-‘Izz bin ‘Abdussalâm h.47).

Bagaimana menyikapi saudara kita yang mengusap wajahnya sesuai berdoa?

Ketahuilah bahwa ulama-ulama yang menyunnahkan mengusap wajah seusai berdoa juga berhujjah dengan hadits-hadits yang telah kami sebutkan di atas. Mereka, di antaranya Al-Hafidz Ibnu Hajar- beranggapan bahwa hadits-hadits di atas menguatkan antara satu dengan yang lainnya, dengan demikian derajat hadits tersebut naik kepada posisi ‘Hasan’ dan hadits hasan sah dijadikan sebagai hujjah. Karena adanya perselisihan dalam menentukan derajat hadits di atas [dan yang rajih adalah tidak shahih], maka kita tidak membid’ahkan bagi mereka yang melakukan perbuatan ini.
Asy-Syaikh bin Bâz berkata ketika dita-nyakan tentang persoalan ini, beliau menja-wab, “…(keterangan-keterangan) di atas menunjukkan bahwa yang lebih utama ada-lah meninggalkan perbuatan itu (mengusap wajah).” [Fatâwa Islamiyah, yang dikum-pulkan oleh Muhammad Al-Musnid Juz 4].
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Aku berpandangan bahwa mengusap wajah se-telah berdoa bukanlah sunnah; akan tetapi barangsiapa yang melakukannya maka ia tidak diingkari dan barangsiapa yang meninggalkannya maka ia juga tidak dingkari.” [Syarhul Mumti’ dalam bab Shalat Tathawwu’].
DR. Abdullah Al-Faqîh berkata, “Perka-ranya longgar, sekalipun kami lebih mera-jihkan -sebagai bentuk kewara’an- tidak adanya mengusap wajah setelah berdoa.” [Lihat fatwa no: 5667]
Asy-Syaikh Abu Ishâq hafidzahullah berkata, “Aku berpendapat tidak bolehnya membid’ahkan orang yang mengusap wa-jahnya seusai berdoa sekalipun yang lebih utama adalah meninggalkan perbuatan itu.” [Iqâmatud Dalîl].
stock-illustration-3797671-floral-dividers[Muhammad Ayyub, www.bejanasunnah.wordpress.com].

Senin, 09 Juli 2012

CAIRAN KUNING-KERUH DAN HAIDH YANG TERPUTUS-PUTUS


Soal :   Apa hukum cairan kuning dan keruh saat haidh ? Dan bagaimana hukum haidh yang terputus-putus ? [Jember]
Jawab :

Seorang wanita terkadang mendapatkan cairan warna kuning (ash-Shufrah) atau cairan warna keruh antara kekuningan/kehitaman (al-Kudrah) atau tidak mendapatkan kedua kondisi di atas selain merasa lembab.
Jika seorang wanita mendapatkan ke-adaan seperti ini, maka terdapat 2 kondisi :
    a.    Apabila ia mendapatkan ash-Shufrah dan al-Kudrah pada saat haidh atau bersambung dengan haidh sebelum suci, maka tetaplah baginya hukum haidh. Berdasarkan pada hadits Aisyah, bahwa kaum wanita pernah mengirimkan kepadanya ad-Durjah berisi kapas yang masih terda-pat padanya warna kuning. Maka Aisyah berkata ‘Jangan tergesa-gesa sebelum kalian melihat cairan putih’.[HR Bukhari secara taqliq 1/420] Ad-Durjah adalah sesuatu yang diletakkan wanita di dalam kemaluannya untuk mengetahui bekas haidh yang  tersisa.
b.   Apabila ia mendapatkan ash-Shufrah dan al-Kudrah pada saat masa suci, maka keduanya tidak teranggap sedikitpun se-bagai hukum haidh. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Athiyah, ‘ Kami tidak meng-anggap sedikitpun (cairan) darah berwar-na kuning dan warna keruh sesudah masa suci’.[HR Abu Dawud 307]

Adapun mengenai darah haidh yang keluar secara terputus-putus,dimana seorang wanita mendapatkan sehari keluar darah dan sehari lagi bersih (tidak mengeluarkan darah), maka hal ini juga memiliki 2 kondisi :
a.    Jika kondisi itu selalu terjadi pada seorang wanita setiap waktu, maka darah itu adalah darah Istihadhah (darah penyakit).
b.   Jika kondisi ini tidak selalu terjadi pada seorang wanita, tetapi kadangkala saja datang dan ia mempunyai saat suci yang tepat. Maka para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kondisi ketika tidak keluar darah. Apakah hal ini merupakan masa suci atau termasuk hukum haidh ? Pendapat paling pertengahan dalam hal ini yaitu pendapat Shohibul Mughni, sbb :
-          Jika terhentinya darah kurang dari 1 hari [yang dimaksud dengan terhenti-nya adalah terhentinya secara sempur-na, di mana ia tidak mendapatkan warna kuning dan warna merah, yang ia dapatkan hanyalah Al-Jifaf (kering) dan pada saat yang bersamaan ia tidak mendapatkan al Qashshatul Baidha’ (cairan putih)]. Maka yang benar, masa ini masih terhitung sebagai masa haidh, tidak teranggap suci.
-          Adapun jika ia mendapatkan bukti bahwa ia suci. Misalnya, ia mendapatkan cairan putih, maka yang benar masa ini ia telah dianggap suci, baik cairan tersebut sedikit atau banyak, kurang dari sehari atau lebih dari se-hari.

[Di sadur dari kitab Tammamul Minnah, Abu Abdirrahman Adil bin Yusuf Al Azazy, hal190-192].

MANDI TELANJANG


Soal :   Bolehkah kita mandi telanjang? [Abdullah – Situbondo].
         Jawab :       
Na’am diperbolehkan. Asalkan aktivitas tersebut dilakukan di tempat yang tertutup dan aman dari pandangan orang lain (selain istri/suami). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri pernah mandi telanjang. Ibnu Hajar (lihat fathul Bari 1/290) berkata: Ibnu Hibban meriwayatkan dari jalan Sulaiman bin Musa, bahwa ia pernah ditanya tentang suami yang melihat kema-luan istrinya, ia menjawab, “Aku pernah menanyakan hal itu kepada ‘Atha` dan ia berkata, “Aku pernah menanyakan kepada ‘Aisyah radhiyallahu anha lalu beliau menyebutkan hadits ini secara makna.” (yaitu hadits: Aku dan Nabi pernah mandi bersama menggunakan satu bejana dalam keadaan junub)”.  
Selain Rasulullah, Nabi Mûsa ‘Alaihis Salam pun pernah mandi telanjang [lihat hadits riwayat Al-Bukhâri no.278 dan Muslim no. 339] Al-Imam An-Nawawi Rahimahullahu berkata: “Boleh membuka aurat ketika dibutuhkan dalam keadaan sendiri tidak ada orang lain. Seperti ketika mandi buang air kecil berhubungan dengan istri dan semisalnya. Semua keadaan ini dibolehkan membuka aurat ketika sendirian. Adapun bila di hadapan orang lain maka haram membuka aurat dalam seluruh keadaan tersebut.”
[Syarh Muslim 4/32]. [www.bejanasunnah. wordpress.com – Muhammad Ayyub].

PULANG PUN SALAM



Soal : Apakah benar salam hanya di ucapkan saat kita datang dan tidak di syariatkan saat kita hendak berpaling/pulang? [TapanRejo – Banyuwa ngi].
         Jawab :       
Yang benar, kedua-duanya disyariatkan. Baik saat kita datang ke suatu majelis/bertamu maupun saat kita meninggalkan majelis/pamit pulang. Hal ini disandarkan pada tiga hadits berikut:

1.        Abu Hurairah Radhiyallâhu ‘Anhu menceritakan:

إِنَّ رَجُلاً مَرَّ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِيْ
مَجْلِسٍ، فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ. فَقَالَ: عَشْرَ حَسَنَاتٍ. فَمَرَّ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ، فَقَالَ: عِشْرُوْنَ حَسَنَةً. فَمَرَّ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ. فَقَالَ: ثَلاَثُوْنَ حَسَنَةً. فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ وَلَمْ يُسَلِّمْ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا أَوْشَكَ مَا نَسِيَ صَاحِبُكُمْ، إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الْمَجْلِسَ فَلْيُسَلِّمْ، فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يَجْلِسَ فَلْيَجْلِسْ، وَإِذَا قَامَ فَلْيُسَلِّمْ، مَا اْلأُوْلَى بِأَحَقَّ مِنَ اْلآخِرَةِ

Bahwa seorang laki-laki pernah melewati Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang pada saat itu beliau berada di majlis. Orang itu berkata, “Assalâmu ‘Alaikum.” Maka beliau bersabda, “Sepuluh kebaikan.” Kemudian lewat laki-laki lain, dan berkata, “Assalâmu ‘Alaikum wa Rahmatullah.” Maka beliau bersabda, “Dua puluh kebaikan.” Kemudian lewat lagi orang ketiga dan mengucapkan, “Assalâmu ‘Alaikum wa Rahmatullahi wabarakâtuhu.” Maka beliau bersabda, “Tiga puluh  kebaikan.” Lalu berdirilah seseorang dari majelis dan tidak mengucapkan salam, maka Rasu-lullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Alangkah cepatnya kawan kalian lupa! Apabila salah seorang di antara kalian datang ke suatu majlis maka hendaklah ia memberi salam, maka apabila ia berkenan untuk duduk maka duduklah, dan apabila ia hendak berdiri (meninggalkan majlis) maka hendaklah mengucapkan salam, (karena) tidaklah yang pertama lebih berhak daripada berikutnya.” [Maksudnya: salam ketika keluar sama dengan ketika masuk]. [HR. al-Bukhâri dalam Adabul Mufrad no. 986 Dishahihkan oleh Albâni dalam Shahih at-Targib.]

2.         Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا جَاءَ أَحُدُكُمْ المجَلِْسَ فَلْيُسَلِّمْ فَإِنْ رَجَعَ فَلْيُسَلِّمْ فَإِنَّ الأُخْرَى لَيْسَت بِأَحَقِّ مِنَ الأُوْلَى

“Apabila salah seorang di antara kalian datang ke majelis maka hendaklah mengu-capkan salam, dan apabila hendak pulang maka hendaklah mengucapkan salam, karena (salam) yang berikutnya tidak lebih berhak dari (salam) yang pertama.” [HR. al-Bukhâri dalam Adabul Mufrad no. 1007 Dishahih-kan oleh Albâni dalam ash-Shahihah (183)].

3.         Dari Abi Hurairah dari Rasulullah, beliau salallahu alihi wa sallam bersabda:

إِذَا جَاءَ الرَّجُلُ الْمَجْلِسَ فَلْيُسَلِّمْ ، فَإِنْ جَلَسَ ثُمَّ بَدَا لَهُ أَنْ يَقُومَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَ الْمَجْلِسُ فَلْيُسَلِّمْ ، فَإِنَّ الأُولَى لَيْسَتْ بِأَحَقَّ مِنَ الأُخْرَى

Apabila seseorang datang ke suatu majlis maka hendaklah ia memberi salam, apabila ia telah duduk kemudian tampak olehnya untuk berdiri (pergi) sebelum majelis bubar, maka hendaklah ia mengucapkan salam, karena (salam) yang berikutnya tidak lebih berhak dari (salam) yang pertama.” [HR.al-Bukhâri dalam Adabul Mufrad no. 1008 Dishahihkan oleh Albâni].
[www.bejanasunnah.wordpress.com – Muham mad Ayyub].

Sabtu, 07 Juli 2012

HUKUM-HUKUM SYARIAT YANG BERKAITAN DENGAN RUMAH (bagian 1)

Soal :   Apakah ada hukum-hukum tertentu yang berkaitan dengan rumah? Mengingat saya belum menemukan pembahasan khusus mengenai hal ini. [Banyuwangi]

     Jawab :       

Rumah merupakan salah satu tempat untuk beribadah kepada Allah Ta'ala Betapa banyak rumah ummat Islam yang dipenuhi dengan perbuatan maksiat dan kemungkaran yang jauh dari nilai-nilai syari’at, bercampur baur dengan orang-orang yang bukan muhrim, memperlihatkan aurat kepada tetangga yang memasuki rumah dll. Bagaimana mungkin malaikat akan memasuki rumah yang seperti ini. Wahai umat Islam, hidupkanlah rumah kalian dengan syari’at yang benar. Berikut ini akan kami paparkan beberapa hukum yang berkaitan dengan rumah di antaranya :

1)        Melaksanakan shalat di rumah. 
Tentang shalat yang dilakukan oleh laki-laki, Nabi  salallahu alaihi wa sallam bersabda, Sebaik-baik shalat kalian adalah di rumahnya, kecuali shalat fardhu (wajib). [HR. Abu Daud dalam Shohih Al-Jami’ no 2749]. Wajib hukumnya bagi laki-laki untuk melaksana-kan shalat di masjid, kecuali ada udzur, Rasulullah salallahu alaihi wa sallam  bersabda: ‘Shalat sunnah yang dilaksana-kan seorang laki-laki di rumahnya (pahala-nya) ditambah daripada shalat sunnah yang dilaksanakan di  tengah-tengah orang ba-nyak, seperti keutamaan shalat seorang laki-laki yang dilaksanakan berjamaah dengan shalat sendirian.’ [HR. Ibnu Abi Syaibah, lihat Shohih al-Jami’ no. 2953].
Sedangkan wanita, semakin tempat sha-latnya itu tersembunyi, maka semakin baik, sabda Rasulullah  : ‘Sebaik-baik shalat wanita adalah di tempat yang pa-ling dalam pada bagian rumahnya.’


2)        Orang lain tidak boleh menjadi imam sha-lat di rumah seseorang, tidak boleh duduk
di tempat pemilik rumah kecuali dengan (seizin) tuan rumah.


Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Seorang laki-laki tidak boleh diimami dalam keku-asaannya, orang lain tidak boleh duduk di tempat kemuliaannya di dalam rumahnya kecuali dengan izinnya.’ [HR. ath-Thabrani, lihat Shahih al-Jami’ no. 3311]. Maksudnya, seseorang tidak boleh maju menjadi imam shalat di rumah orang lain, meskipun bacaan orang tersebut lebih baik. Atau menjadi imam di suatu tempat di bawah kekuasaan seseorang, seperti tuan rumah di rumahnya, atau imam masjid, demikian juga tidak boleh bagi seseorang untuk duduk di tempat khusus milik tuan rumah, apakah tempat tersebut permadani atau tikar, kecuali seizin tuan rumah.


3)        Haram hukumnya memasuki rumah orang lain tanpa seizin tuan rumah.


Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapa yang memasuki rumah suatu kaum tanpa seizin pemiliknya, maka pukullah matanya, tidak ada tebusan dan tidak ada hukum qishash bagi pemukul.[HR. Imam Ahmad, al-Musnad II/385, Shahih al-Jami’ no. 6046].

Bersambung InsyaAllah ....

Rabu, 04 Juli 2012

BERDIRI MENGHORMAT GURU



Soal :   Di sekolah kami selalu ada tradisi berdiri mengucapkan salam ketika bapak/ibu guru memasuki kelas. Apakah hal ini ter-masuk syi’ar agama Islam? karena jika kami tidak melakukannya akan dikatakan tidak beradab dan tidak hormat pada guru ! (082141196xxx Jember)
Jawab :       

Seringkali kita menjumpai dalam masyarakat kita berbagai ma-cam bentuk penghormatan kepada orang lain, apakah itu orang tua, guru, pemimpin, atau bahkan teman sebaya kita. Setiap daerah pasti memiliki adat tersendiri dalam menampilkan bentuk penghormatan ini. Ada yang dengan cara membungkukkan badan, adapula yang me-nganggukkan kepala, ada yang berdiri, dll.

Lalu bagaimanakah pandangan syari’at mengenai hal ini ? Sung-guh syari’at ini tampil teramat sempurna, sampai-sampai masalah penghormatan pun telah diaturnya secara terperinci. Dalam masalah ‘berdiri’ jika dipandang dari kacamata syari’at maka akan terbagi menjadi dua, yaitu berdiri yang dilarang dan yang diperbolehkan.

Berdiri yang Dilarang 
Rasulullah salallahu alaihi wa sallam telah bersabda : “Barangsiapa suka dihormati manu-sia dengan berdiri, maka hendaknya ia mendiami tempat duduknya di Neraka.” [HR. Ahmad, hadits shahih]. Begitu pula shahabat Anas bin Malik  salallahu alaihi wa sallam  berkata : “Tak seorang pun yang lebih dicintai para shahabat dari-pada Rasulullah  salallahu alaihi wa sallam. Tetapi, bila mereka melihat Rasulullah  salallahu alaihi wa sallam (hadir), pa-ra shahabat tidak berdiri untuk (menghormat) Rasulullah  salallahu alaihi wa sallam. Sebab mere-ka mengetahui bahwa Rasulullah salallahu alaihi wa sallam membenci hal tersebut.” [HR. at-Tirmi-dzi, hadits shahih].

Hadits di atas mengandung pengertian, bahwa seorang muslim yang suka dihormati dengan berdiri ketika ia masuk suatu majlis, maka ia menghadapi ancaman masuk neraka. Sebab para shahabat yang sangat mencintai Rasulullah  salallahu alaihi wa sallam saja, bila mereka melihat Rasulullah  salallahu alaihi wa sallam masuk ke dalam suatu majlis, mereka tidak berdiri untuk beliau. Karena mereka mengetahui Rasulullah salallahu alaihi wa sallam tidak suka yang demikian.

Lalu, bagaimana bisa kita berdiri untuk menghormati seorang guru atau syaikh? Sedangkan Rasulullah  salallahu alaihi wa sallam orang yang paling mulia di muka bumi ini saja tidak suka dihormati de-ngan berdiri?

Banyak orang mengatakan, kami berdiri pada bapak guru atau syaikh hanya sekedar menghormati ilmunya. Kita bertanya, apakah kalian meragukan keilmuan Rasulullah  salallahu alaihi wa sallam dan adab para shahabat kepada beliau? Meskipun demikian para shahabat tetap tidak berdiri untuk beliau  salallahu alaihi wa sallam.

Islam tidak mengajarkan penghormatan dengan berdiri. Tetapi dengan ketaatan dan mematuhi perintah, menyampaikan salam dan saling berjabat tangan. Membiasakan berdiri untuk menghormati orang alim atau orang yang masuk suatu majlis, akan melahirkan dihati ke-duanya kesenangan untuk dihormati dengan ca-ra berdiri. Bahkan jika seseorang tidak berdiri, ia akan merasa gelisah.

Sering juga kita jumpai dalam suatu perte-muan, jika orang kaya masuk, semua berdiri menghormati. Tetapi giliran orang miskin yang masuk, tak seorangpun berdiri menghormat. Perlakuan tersebut hanyalah akan menumbuh-kan sifat dengki di hati orang miskin terhadap orang kaya dan para hadirin yang lain. Akhir-nya antar umat Islam saling membenci. Padahal orang miskin yang tidak dihormati dengan ber-diri itu, bisa jadi dalam pandangan Allah lebih mulia dari pada orang kaya yang dihormati
dengan berdiri. Sebab Allah Ta'ala berfirman :

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling ber-taqwa di antara kamu.” [Al Hujurat : 13].

Maka, berhati-hatilah dalam urusan ini..! Karena diamnya syaikh dan bapak guru terha-dap penghormatan dengan berdiri itu atau hu-kuman terhadap anak yang tidak mau berdiri, ini menunjukkan syaikh dan bapak guru senang dihormati dengan berdiri. Dan itu berarti (sesuai dengan nash hadits di atas) mereka menghada-pi ancaman masuk neraka.

Berdiri yang Dianjurkan
Banyak hadits shahih, dan perilaku shaha-bat yang menunjukkan dibolehkannya berdiri untuk menyambut orang yang datang. Di antara hadits-hadits tersebut adalah:

1). Rasulullah  salallahu alaihi wa sallam berdiri menyambut puterinya Fathimah, jika ia datang menghadap beliau. Sebaliknya, Fathimah juga berdiri menyam-but ayahandanya jika beliau datang. Ber-diri seperti ini dibolehkan dan dianjurkan. Karena ia adalah berdiri untuk menyambut tamu dan memuliakannya. Bahkan hal itu merupakan perwujudan dari sabda Rasulullah  salallahu alaihi wa sallam, ‘Barangsiapa beriman kepada Allah Ta'ala dan hari Akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya.’ [Muttafaq ‘Alaih].

2). Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Berdirilah (untuk memberi pertolongan) pemimpin kalian.’ [Muttafaq ‘Alaih]. Dalam riwayat lain, ‘Kemudian turunkanlah![Hadits Hasan]. Latar belakang hadits ini adalah sehubungan dengan Sa’ad radhiallahu anhu , pemimpin para shahabat Anshar yang terluka. Dalam kondisi seperti itu, Rasulullah salallahu alaihi wa sallam memintanya agar ia memberi putusan hukum dalam perkara orang Yahudi. Maka, Sa’ad pun mengendarai himar (keledai). Ke-tika sampai (di tujuan), Rasulullah salallahu alaihi wa sallam berkata kepada orang-orang Anshar, ‘Berdirilah (un-tuk memberi pertolongan) kepada pemimpin kalian & turunlah.’

   Berdiri dalam situasi seperti itu adalah dian-jurkan. Karena untuk menolong Sa’ad, pe-mimpin para shahabat Anshar yang terluka turun dari punggung keledai, sehingga tidak terjatuh. adapun Nabi  salallahu alaihi wa sallam, beliau tidak berdiri. De-mikian pula dengan sebagian shahabat yg lain.

3). Diriwayatkan, pada suatu waktu, shahabat Ka’ab bin Malik radhiallahu anhu masuk masjid. Para shahabat lainnya sedang duduk. Demi melihat Ka’ab, Thalhah beranjak berdiri dan berlarian kecil untuk memberinya kabar gembira dengan taubat Ka’ab yang diterima Allah –setelah hal itu didengarnya dari Nabi– karena ia tidak ikut berjihad. Berdiri seperti ini diperbolehkan karena bertujuan untuk memberikan kabar gembira saja, tidak bermaksud menghormat.

4). Berdiri kepada orang yang datang dari perjalanan jauh untuk menyambutnya dengan pelukan.

Secara mudah, untuk membedakan penghor-matan yang diperbolehkan dan yang dilarang adalah; yang pertama tidak sekedar berdiri di tempat, tetapi segera beranjak menyambut orang yang datang tersebut, baik untuk mem-beri pertolongan, memuliakannya, memberi ka-bar gembira, atau melepaskan rasa rindu dengan memeluknya. Sedangkan yang kedua, hanya berdiri tegak dan tidak beranjak dari tempat, dilakukan untuk memberi penghormatan kepada orang yang datang (pen.) [Jalan Golongan yang Selamat, Syaikh Mu-hammad bin Jamil Zai-nu].

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan