Kamis, 17 Mei 2012

Doa Panjang Umur


Soal : Kami mendengar bahwa tidak dibenarkan mendo’akan seseorang dengan do’a panjang umur. Namun, kami yang di perantauan ini terkadang atau bahkan sering mendo’akan kedua orang tua agar panjang umur hingga kami bisa berkumpul bersama kembali setelah tugas kami selesai. Apakah memang hal ini terlarang ?
Jawab : Benar, di antara para ulama ada yang memakruhkan bahkan sampai pada tahap mengharamkan seseorang mendo’akan dirinya sendiri atau orang lain dengan panjang umur.
Bagi yang mengharamkan, mereka beralasan bahwa ajal telah ditetapkan dan rezeki telah terbagi. Meminta sesuatu yang mustahil terjadi adalah adab buruk kepada Allah [Lihat al-Furuuq 4/269]. Sedang bagi mereka yang memakruhkannya beralasan dengan hadits Ummu Habibah berikut ini :
Dari Ummu Habibah Radhiyallahu ‘anha, bahwasanya ia berkata, ‘Ya Allah, karuniakanlah kepadaku dengan dengan memanjangkan umur suamiku Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, ayahku Abu Sufyaan, dan saudaraku Mu’awiyyah.’ Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Engkau telah meminta kepada Allah tentang ajal yang telah dipatentkan, hari-hari yang telah ditentukan, rezeki yang telah dibagikan. Dan Allah sedikitpun tidak akan menyegerakannya sebelum sebelum tiba masanya atau mengakhirkannya sebelum tiba waktunya. Jika engkau meminta kepada Allah, maka mintalah aga Ia melindungimu dari adzab Neraka atau siksa kubur. Maka, hal itu lebih baik dan lebih utama.’ [HR. Muslim 2663].
Namun, selain pendapat di atas, ada juga pendapat di antara beberapa ulama yang membolehkan berdo’a panjang umur, namun diupayakan do’a tersebut tidak terlepas begitu saja, ia perlu diikat dengan ketaatan dan yang semisal dengan ketaatan, seperti ‘Semoga Allah memanjangkan umurmu dengan ketaatan kepada-Nya.’ [Ini adalah pendapat sebagian dari madzhab Hanafi, asy-Syafi’iyyah, al-Hanabalah dan dipilih oleh beberapa muhaqqiq seperti Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Syaikh Bakr Abu Zaid].

Pendapat yang Unggul
Pendapat yang rajih (unggul) adalah pendapat yang terakhir, yang membolehkan seseorang mendo’akan orang lain dengan panjang umur. Tentunya, panjang umur yang terikat dengan ketaatan dan amal shalih. Unggulnya pendapat ini, lantaran adanya beberapa dalil yang menunjukkan atas kebolehannya, di antaranya :
1)       Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam pernah mendo’akan pelayannya, Anas Radhiyallahu ‘anhu, dengan panjang umur. Di mana isi do’a beliau adalah, ‘Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, panjangkan usianya, dan ampunilah ia.’ Kata Anas, ‘… usiaku benar-benar panjang hingga aku malu dengan orang-orang, dan aku mengharap pengampunan.’ [Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Adabul Mufrad 669. Dishahihkan oleh al-Albani di dalam Adabul Mufrad dan di dalam ash-Shahihah 2241].
2)       Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata di dalam do’anya, ‘Ya Allah, karuniakanlah kepadaku kesenangan dengan kekalnya pendengaran dan penglihatanku dalam keadaan sehat, jadikanlah keduanya kekal ada hingga aku mati, tolonglah aku atas orang yang mendzalimiku, mendzalimiku, dan balaskanlah dendamku padanya.’ [Hadits Hasan. HR. at-Tirmidzi 3681. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi 2854].
Permohonan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam agar dikekalkan kesehatan pendengaran dan penglihatannya hingga mati, menunjukkan bolehnya berdo’a dengan kekekalan. Karena di antara bentuk bernikmat-nikmat dengan indera yang sehat adalah ketika Allah memanjangkan usia seseorang.

Jawaban untuk yang Mengharamkan atau yang Memakruhkan
Secara ringkas dapat dijawab sebagai berikut, ‘Mengharamkan lantaran usia sudah ditetapkan adalah tertolak dengan perbuatan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang mendo’oakan Anas agar panjang umur. Ijtihad selamanya tidak berlaku jika telah ada nash yang secara jelas menyelisihi ijtihad tersebut.
Adapun memakruhkannya lantaran hadits Ummu Habibah di atas, maka ketahuilah bahwa di dalam hadits tersebut tidak ada teks yang menunjukkan bahwa hal itu terlarang. Justru sebaliknya, Nabi menetapkan atau membenarkan perbuatan Ummu Habibah tersebut, hanya saja beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam mengarahkannya pada hal-hal yang lebih baik baginya dengan ungkapan, ‘Maka hal itu lebih baik dan lebih utama.
Dan yang perlu dicatat; bahwa tidak ada perbedaan antara do’a meminta dipanjangkan umur dan do’a meminta kebahagiaan, mempunyai anak, dan yang semisalnya; karena kesemuanya itu sudah ditetapkan di dalam taqdir. [Untuk jawaban lengkap lihat di ash-Shahihah 5/288 oleh Syaikh al-Albani.]

Mengapa harus Diikat dengan Ketaatan ?
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Banyaknya umur bagi seseorang bukanlah sesuatu yang terpuji, kecuali digunakan dalam ketaatan kepada Allah dan menggapai ridha-Nya. Orang yang panjang usianya dan baik amalnya. Karena itu, sebagian ulama tidak suka berdo’a minta panjang umur secara mutlaq. Mereka membenci jika dikatakan, ‘Semoga Anda panjang umur’, kecuali dengan kata pengikat. Misalnya dengan mengatakan, ‘Semoga Anda panjang umur dalam ketaatan kepada Allah’ atau ‘Semoga Anda panjang umur dalam kebaikan’ atau sejenisnya. Hal itu karena bisa saja panjang umur itu menjadi petaka bagi seseorang. Sebab panjang umur dengan amal yang buruk – kami memohon perlindungan kepada Allah dari padanya – adalah sesuatu yang sangat buruk bagi manusia.” [Fatawa Manarul Islam 1/43].

Kesimpulan
Anda boleh saja mendo’akan orang tua panjang umur asalkan saja diikat dengan kata-kata ketaatan (yang semisalnya), bukan hanya semata-mata bisa bersua dengannya. Wallahu A’lam.


Abu Halbas Muhammad Ayyub
Jember 1433 H.

Tuntut Ilmu Sampai Negeri Cina


Soal:
Bagaimana kedudukan sebenarnya dua hadits berikut: Kebersihan adalah bagian dari iman dan Tuntutlah ilmu sampai di negeri Cina?

Jawab:
Dua hadits, ‘Kebersihan adalah bagian dari iman,’ dan, ‘Tuntutlah ilmu sampai di negeri Cina,’ adalah di antara sekian banyak hadits yang teramat akrab di telinga masyarakat kita, bahkan di telinga masyarakat Muslim dunia. Baik di kalangan terpelajar maupun di kalangan orang-orang awam, anak kecil maupun orang-orang dewasa.
Untuk menyukseskan program belajar digunakanlah hadits, ‘Tuntutlah ilmu sampai di negeri Cina.’ Untuk membangkitkan semangat nasionalisme digunakan hadits, ‘Cinta tanah air adalah bagian dari iman.’ Untuk program yang ada kaitannya dengan kebersihan digunakan ahdits, ‘Kebersihan adalah bagian dari iman.’ Untuk melegalkan perbedaan pendpaat digunakanlah hadits, ‘Perbedaan pendapat di antara ummatku adalah rahmat.’ Untuk menggiatkan semangat kerja dan ibadah digunakanlah hadits, ‘Bekerjalah untuk penghidupan duniamu seakan-akan engkau akan hidup untuk selamanya dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok.’ Untuk memotivasi membacaa l-Qur’an digunakanlah hadits, ‘Tiap-tiap sesuatu itu ada jantungnya dan jantung al-Qur’an adalah Yasin, barangsiapa yang membacanya seolah-olah ia telah membaca al-Qur’an 10 kali.’
Hadits-hadits yang kami sebutkan di atas bukanlah sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, melainkan kebohongan yang dibuat-buat dan dinisbatkan kepada Rasulullah. Untuk urusan ini, kita mesti berhati-hati karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa yang menceritakan suatu hadits dariku yang ia ketahui bahwasanya itu dusta, maka ia termasuk golongan para pendusta.’ [HR. Muslim 1/9].
Andai bukan karena keterbatasan ruang, niscaya akan kami terangkan semua kedudukan hadits-hadits tersebut. Tetapi, dalam kesempatan ini kami hanya akan menjelaskan dua hadits yang telah kami sebutkan di awal pembahasan ini.

Kebersihan Sebagian daripada Iman
Kebersihan sebagian daripada iman’, bukan hadits!
Para ahli ilmu tidak menemukannya di dalam kitab-kitab hadits dan tidak pula menemukannya di dalam kitab kumpulan hadits-hadits palsu (maudhu’).
Ada yang serupa dengan ungkapan tersebut yaitu, ‘Kebersihan mengajak pada iman,’ sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam bukunya Talkhis al-Mutasyabbih fi ar-Rasm 1/2233-224, maka dia membawa sanadnya sampai kepada Abdullan bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Mencabut sisa-sisa makanan di sela-sela gigi, maka sesungguhnya itu adalah kebersihan dan kebersihan itu mengajak pada keimanan dan iman akan berada di Syurga bersama orang yang beriman.’ Dalam sanad hadits ini ada Ibrahim bin Hayyan. Ibnu ‘Adi membuat biografinya dalam al-Kamil 1/253 dan dia menyebutkan bahwa hadits-haditsnya palsu (maudhu’) dan munkar.
Atau ungkapan serupa lainnya, ‘Agama itu dibangun atas dasar kebersihan’, seperti yang disebutkan oleh Imam al-Ghazali di dalam kitabnya Ihya ‘Ulmuddin 1/124. Namun, ungkapan ini dikomentari oleh al-Hafidz al-Iraqy, beliau berkata, ‘Saya tidak dapati hadits yang bentuknya sebagaimana tersebut ini.’ Ungkapan seperti ini menunjukkan bahwa beliau menolak keberadaan hadits ini alias hadits ini adalah palsu.

Tuntulah Ilmu Sampai Negeri Cina
Tuntutlah ilmu walau di negeri Cina’, hadits bathil! Bukan ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Ady dalam kitabnya 2/207, Abu Nu’aim dalam kitab Akhbaru al-Ashbahan 2/206, al-Khatib al-Baghdady dalam kitab at-Tarikh 9/364. Semua riwayat ini melalui jalan; al-Hasan bin ‘Athiyah. Tetapi, dalamsanadnya ada rawi yang bernama; Abu ‘Atikah dan ia termasuk rawi yangmatruk. Rawi inilah yang meriwayatkan dengan adanya tambahan ; Walau di negeri Cina. Imam al-Bukhari mengatakan, ‘Ia (Abu ‘Atikah) adalah munkarul hadits (suka meriwayatkan hadits-hadits munkar).’ An-Nasa’i berkata, ‘Bukan rawi kepercayaan.’ As-Sulaimany menggolongkannya sebagai orang-orang yang dikenal memalsukan hadits. [Untuk jawaban dan penilaian secara rinci silakan merujuk pada kitab adh-Dhaifah 1/416 karya Syaikh al-Albani].

Kesimpulan
  1. Dua hadits yang telah kita bahas di atas adalah hadits palsu, bukan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
  2. Setelah jelas kepalsuan dua hadits di atas, tidak bermakna bahwa seorang Muslim tidak diperintahkan menjaga kebersihan dan tidak pula dibebankan menuntut ilmu. Ada banyak ayat ataupun hadits shahih yang menerangkan demikian. Untuk kebersihan lihatlah QS. al-Baqarah ayat 222, sedang untuk menuntut ilmu lihatlah QS. al-‘Alaq ayat 1 dan QS. at-Taubah ayat 122.
  3. Tidak halal meriwayatkan apalagi mengamalkan hadits palsu. Adapun jika tujuan meriwayatkannya sebagai bentuk informasi kepada orang lain, lalu menerangkan kepalsuannya setelah meriwayatkan hadits tersebut, amka ahl itu diperbolehkan. Wallahu A’lam.

Abu Halbas Muhammad Ayyub
Jember 1413 H.

Hak Orang Tua Dan Anak


Soal: Apa saja hak kami sebagai orang tua dan apa pula hak bagi anak-anak kami? Mohon jawabannya.

Jawab: Sebagai manifestasi ketakwaan kita kepada Allah Subahanhu wa Ta’ala, kita sudah sangat perlu untuk benar-benar mengetahui bagaimana melaksanakan berbagai kewajiban dan menunaikan berbagai hak kepada pemiliknya. Tanpa pengetahuan tersebut, maka akan ada sebagian orang amat berambisi untuk mendapatkan haknya, sementara mereka mengabaikan kewajibannya. Penunaian hak kepada pemiliknya adalah merupakan di antara perkara-perkara yang agung di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan darinya akan tumbuh segala macam kebaikan. Sedang pengabaian hak hanya akan melahirkan kejahatan dan kehancuran, sebagai akibat dari penentangan terhadap perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Di antara hak-hak yang harus diketahui dan diamalkan seorang muslim dari sekian banyak hal yang harus dijaganya adalah hak orang tua dan hak-hak anak. Dan berikut penjelasan ringkasnya :

Hak-hak Orang Tua
Yang dimaksud dengan hak-hak orang tua di sini adalah kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan seorang anak terhadap orang tuanya. Ada banyak hak orang tua atas anak, yang paling penting di antaranya adalah :
  1. Bergaul dengan keduanya dengan cara yang baik. Hal itu ditunjukkan melalui perkataan, perbuatan, harta, dan badan.
  2. Menaati perintah keduanya kecuali dalam hal-hal yang sifatnya maksiat.
  3. Berbicara kepada mereka berdua dengan penuh kelembutan dan sopan santun.
  4. Tawadhu’ (rendah diri) dan tidka boleh bersikap sombong di hadapan keduanya.
  5. Banyak berdo’a dan memohon ampun untuk mereka berdua, terlebih di saat keduanya telah meninggal dunia.
  6. Memelihara nama baik, kehormatan, dan harta mereka berdua.
  7. Melakukan perbuatan yang membuat mereka senang tanpa harus ada perintah terlebih dahulu.
  8. Menghormati teman-teman mereka berdua semasa mereka masih hidup, dan begitu juga setelah matinya.
  9. Segera memenuhi panggilan mereka berdua.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan kedudukan hak kedua orang tua sebagai hak yang besar dan tinggi, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan hak kedua orang tua setelah hak-Nya yang terkandung di dalamnya hak Allah dan hak Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua ibu-bapak.’ [QS. an-Nisa’ : 36].

Hak-hak Anak
Yang dimaksud dengan hak-hak anak di sini adalah kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan oleh kedua orang tua atas anak-anaknya. Ada banyak hak anak-anak, yang paling penting di antaranya adalah :
  1. Mendidiknya.
Mendidik anak dengan menumbuhkan agama dan akhlak yang mulia dalam jiwanya adalah suatu kewajiban dan bukan bersifat anjuran. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.’ [QS. at-Tahrim : 6].
Syaikh Muhammad al-Khidhr Husain berkata, ‘Wahai orang tua, jika engkau menelantarkan tanggung jawab pendidikan anak, saya khawatir engkau akan mendapat adzab dua kali lipat. Pertama; disiksa dengan adzab yang pedih karena merusak permata mulia. Kedua; mendapat jatah yang besar dari kejahatan yang dilakukan anakmu.’ [as-Sa’adah al-‘Uzhma hal. 90].
2.  Bersikap adil di antara anak-anak.
Bersikap adil di antara anak-anak merupakan kewajiban kedua orang tua dan membeda-bedakan di antara mereka merupakan sikap berani terhadap hukum-hukum Allah Ta’ala dan melanggar kehormatan agamanya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Bersikap adillah kalian di antara anak-anak kalian, bersikap adillah kalian di antara anak-anak kalian, dan bersikap adillah kalian di antara anak-anak kalian.’ [Shahih. HR. Abu Dawud 3544 ,an-Nasa’i, dan Ahmad].
Memberi kepada sebagian anak dan tidak memberi kepada yang lainnya adalah tindakan kedzaliman dan Allah Ta’ala tidak menyukai orang-orang yang berbuat dzalim. Karena hal itu membuat anak yang tidak diberi menjauh, dan terjadilah permusuhan antara anak yang tidak diberi dengan anak yang diberi. Bahkan bisa jadi permusuhan akan terjadi antara anak yang tidak diberi dengan ayah mereka sendiri.
3. Memberi nafkah.
Yaitu menafkahi anak-anak dengan nafkah yang halal. Banyak orang tua yang tidak takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, di mana ia tidak peduli dari mana ia mendapatkan harta meskipun kekayaan itu dimurkai dan diharamkan; baik dari hasil mencuri, korupsi, suap, dan lain sebagainya. Lalu dari hasil perbuatan itu ia memakannya dan memberikannya kepada anak dan isterinya. Padahal Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Setiap daging yang tumbuh dari yang diharamkan, maka Neraka lebih (berhak) untuknya.’ [Shahih. HR. Ahmad dan ath-Thabrany dalam kitab Shahih al-Jami’ 1419].
Dan termasuk dalam pengaturan nafkah adalah menafkahi anak dengan tidak berlebih-lebihan (boros) dan tidak juga begitu pelit.
Wahai para orang tua, anak hari ini adalah pemuda hari esok. Anak kecil yang tidak terlalu kita beri perhatian besar, sebentar lagi akan tumbuh dewasa dan akan memperlakukan kita seperti kita memperlakukannya di saat kecil.


Abu Halbas Muhammad Ayyub
Jember, 1433 H.

Amalan Yang Berkekalan


Sesungguhnya kehidupan ini tiada lain hanyalah nafas, seandainya nafas ditahan, maka niscaya berhentilah aktivitas dan berhentilah amal perbuatan. Itu artinya, bahwa kematian benar-benar dekat dengan kita. Oleh itu, perhatikanlah keadaan diri, gunakanlah waktu sebaik-baiknya, perbanyak bekal amal, karena dunia ini adalah tempat persinggahan dan sesungguhnya persinggahan ini sebentar, keberangkatan sudah dekat, perjalanan sangat menakutkan, penuh dengan jebakan yang memperdayakan dan bahaya yang besar, sedang Pengawas Maha Melihat.
Mengingat-ingat kematian, bukan karena kematian merupakan perpisahan dengan keluarga, orang-orang yang dicintai dan bukan pula karena berpisah dari dunia. Akan tetapi, karena kemaksiatan merupakan perpisahan dengan kesempatan beramal dan ladang untuk akhirat.
Ibnul Jauzi Rahimahullah berkata, ‘Betapa aneh orang mati tanpa mempersiapkan amal. Betapa aneh musafir bepergian tanpa menyiapkan bekal. Betapa aneh orang memasuki kubur tanpa pernah bersiap-siap untuk itu. Betapa aneh orang yang menganggap remeh segala urusan dan tidak pernah menggunakan akal. Saudaraku, abad demi abad berlalu dan berbagai hambatan perjalanan kian jelas merintang, setiap orang menuju kubur meski tanpa sadar, tetapi tidak setiap orang namanya terus hidup. Sampai kapankah kau menunda-nunda dan lalai? Bebanmu begitu sarat, jalan ini begitu berat, dan nasibmu akan kau ketahui saat sekarat.’ [Sirah Umar bin Abdul Aziz hal. 625].

Amalan yang Tidak Pernah Putus
Hanya amallah yang akan menemani kita di dalam kubur nanti. Sedang yang hidup, keluarga, dan kerabat yang mengiringi ke pemakaman, akan meninggalkan kita di dalam tanah yang ditinggikan lagi memberati, menjauhi dan meninggalkan kita seorang diri tanpa teman, mereka berpamitan lalu berpaling dari kita dan membiarkan kita seakan-akan mereka tidak mengenal kita sebelumnya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلَاثَةٌ فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ
Tigal hal yang mengantar mayat ke kuburan, dua kembali dan satu tetap tinggal. Yaitu keluarga, harta, dan amal seseorang. Keluarga dan hartanya akan kembali sedangkan amalnya tetap bersamanya.’ [HR. al-Bukhari 6514 dan Muslim 296].
Di antara amal-amal yang diperbuat oleh manusia di kala hidupnya ada yang pahalanya terhenti seiring dengan terhentinya nafas pemiliknya (mati) dan ada pula amalan yang terus mengalir pahalanya sekalipun pemiliknya telah tertimbun oleh tanah. Dan di antara amal-amal tersebut adalah:

1)     Shadaqah Jariyah
Shadaqah jariyah dalam madzhab Imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad) adalah pemberian yang dimaksudkan untuk mendapatkan pahala dari Allah. Ada yang berpendapat; Adalah harta yang dihibahkan lantaran menginginkan pahala. Dan ada pula yang berpendapat; Shadaqah jariyah adalah waqaf, sedang waqaf itu adalah menahan dzat benda dan membiarkan nilai manfaatnya demi mendapatkan pahala dari Allah Ta’ala.
Dari definisi-definisi di atas, maka jelaslah bahwa shadaqah jariyah itu satu bentuk pendekatan (qurbah) yang dilakukan oleh manusia  untuk mendapatkan keridhaan dari Allah, dan agar orang-orang dapat mengambil manfaat dari pemberiannya itu hingga waktu yang tidak tertentu, yang mana pahalanya terus mengalir sepanjang keberadaan barang yang diwaqafkan itu masih ada. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُوْ لَهُ
Jika anak Adam meninggal dunia, maka amalnya putus kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.’ [HR. Muslim 1631].
Di antara contoh-contoh shadaqah jariyah yang pernah terjadi di masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah Umar Radhiyallahu ‘anhu pernah mewaqafkan sebidang tanah miliknya yang ada di Khaibar dan Thalhah Radhiyallahu ‘anhu pernah menyedekahkan kebun kurmanya ketika turun firman Allah surat Ali Imran ayat 92.

2)     Ilmu yang Bermanfaat
Yang dimaksud adalah ilmu yang memberikan manfaat ukhrawy semisal ilmu tauhid, ilmu aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, ilmu tafsir, ilmu hadits, dan fiqih. Tercakup di dalamnya orang mengajarkan ilmu, membuat karya tulis yang bermanfaat, mencetak buku, menyebarkannya, dan mewaqafkan kitab. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Di antara amalan dan kebaikan yang masih didapatkan oleh seorang mukmin setelah matinya adalah ilmu yang ia ajarkan dan yang ia sebarkan …’ [Hasan. HR. Ibnu Majah 242. Dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ 2231].
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa saja yang menyeru kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti yang didapat oleh orang yang mengikutinya tanpa sedikitpun mengurangi pahala mereka. Juga siapa saja yang menyeru kepada kesesatan, maka baginya dosa seperti dosa orang yang mengikutinya, dan hal itu tidak mengurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka.’ [HR. Muslim 2674].

3)     Anak Shalih yang Mendoakan Orang Tuanya
Anak merupakan hasil dari usaha orang tua. Apa yang diperbuat oleh sang anak dari amalan-amalan shalih, maka sang ayah juga mendapatkan pahala yang serupa dari amalan tersebut tanpa mengurangi sedikitpun pahala sang anak. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya makanan yang paling baik yang kalian makan adalah makanan dari hasil usaha kalian sendiri dan sesungguhnya anak-anak kalian adalah bagian dari usaha kalian.’ [Shahih. HR. at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ 1566].
Sekedar shalihnya anak-anak sudah menjadi timbangan kebaikan bagi orang tuanya, baik anak itu mendoakan orang tuanya atau tidak. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Di antara amalan dan kebaikan yang masih didapatkan oleh seorang mukmin setelah matinya adalah ilmu yang ia ajarkan dan yang ia sebarkan, anak shalih yang ia tinggalkan …’ [Lihat takhrij hadits di atas].
Dikhususkannya penyebutan ‘anak yang shalih’ seperti yang termaktub di dalam naskah hadits lantaran anak shalih berbeda dengan anak-anak yang tidak shalih dalam hal kedekatannya kepada Allah. Anak shalih akan selalu menjalin hubungannya dengan Allah dan tidak melupakan orang tuanya dengan doa di kala keduanya telah mati.

4)     Ribath fi Sabilillah (Menjaga Wilayah Perbatasan Kaum Muslimin dari Agresi Orang-orang Kafir)
Dari Salman Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Ribath sehari semalam adalah lebihbaik dari berpuasa dan qiyamnya sebulan. Apabila ia mati dalam ribath, maka pahala amalnya tetap mengalir kepadanya, begitu pula rezekinya dan dia aman dari fitnah.’ [HR. Muslim].

5)     Menggali Kubur untuk Saudaranya Semuslim
Dari Abu Rafi’ Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam  bersabda, ‘Barangsiapa yang memandikan mayit, lalu ia menutupi aibnya, maka dia diampuni sebanayk 40 kali. Barangsiapa mengkafanni mayit, maka Allah akan memakaikannya tenunan sutera tipis dan sutera tebal Syurga. Dan barangsiapa yang menggalikan kubur bagi mayit, lalu ia menutupinya, maka Allah akan berikan ganjaran kepadanya sebuah rumah yang akan ditinggalinya hingga hari Kiamat.’ [Shahih. HR. al-Hakim 1/354. Beliau menshahihkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 51].

6)     Hasil Tanaman yang Dimakan oleh Manusia, Burung, dan Hewan-hewan lainnya
Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Pada suatu hari ketika Rasulullah masuk ke kebun Ummu Mubasysyir al-Anshari, beliau bertanya kepadanya, ‘Siapa yang menanam pohon kurma ini, orang Islam atau kafir?’ Ummu Mubasysyir menjawab, ‘Orang Islam!’ Beliau bersabda, ‘Tidak ada seorang muslimpun yang bercocok tanam atau bertani, kemudian hasil tanamannya itu dimakan orang atau binatang, niscaya semua itu menjadi sedekah baginya.’ [HR. Muslim].
Dan dalam satu riwayat, ‘Tidak ada seorang muslimpun yang bercocok tanam, melainkan setiap tanamannya yang dimakan atau dicuri orang, atau dimakan oleh binatang liar, atau dimakan burung, atau hilang, niscaya semuanya itu menjadi sedekah baginya.’ [HR. Muslim].
Imam an-Nawawi Rahimahullah berkata, ‘Dalam hadits-hadits ini menunjukkan keutamaan bercocok tanam atau bertani. Dan pahala pelakunya akan terus berlanjut hingga hari Kiamat selama tanaman itu ada.’

7)     Pelopor dalam Kebaikan
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa membuat suatu hal yang baik dalam Islam, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengamalkannya sepeninggalnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa membuat suatu hal yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya sepeninggalnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.’ [HR. Muslim 1017].
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tidak ada satu jiwapun terbunuh dengan penganiayaan melaikan putera Adam yang pertama mendapatkan bagian dosa dari penumpahan darah itu. Sebab, ia adalah orang yang pertama kali melakukan pembunuhan.’ [HR. al-Bukhari dan Muslim].

Demikianlah beberapa amal yang kita harapkan pahalanya terus-menerus mengalir hingga kita meninggal dunia. Jadilah orang yang benar, yang tahu jalan menuju Allah lalu menempuhnya dan jangan menjadi orang tertipu, yang sudah tahu jalan namun tidak menempuhnya. Wallahu A’lam.


Al-Faqîr Abu Halbas Muhammad Ayyub
Jember 1433 H.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan