Senin, 09 Juli 2012

CAIRAN KUNING-KERUH DAN HAIDH YANG TERPUTUS-PUTUS


Soal :   Apa hukum cairan kuning dan keruh saat haidh ? Dan bagaimana hukum haidh yang terputus-putus ? [Jember]
Jawab :

Seorang wanita terkadang mendapatkan cairan warna kuning (ash-Shufrah) atau cairan warna keruh antara kekuningan/kehitaman (al-Kudrah) atau tidak mendapatkan kedua kondisi di atas selain merasa lembab.
Jika seorang wanita mendapatkan ke-adaan seperti ini, maka terdapat 2 kondisi :
    a.    Apabila ia mendapatkan ash-Shufrah dan al-Kudrah pada saat haidh atau bersambung dengan haidh sebelum suci, maka tetaplah baginya hukum haidh. Berdasarkan pada hadits Aisyah, bahwa kaum wanita pernah mengirimkan kepadanya ad-Durjah berisi kapas yang masih terda-pat padanya warna kuning. Maka Aisyah berkata ‘Jangan tergesa-gesa sebelum kalian melihat cairan putih’.[HR Bukhari secara taqliq 1/420] Ad-Durjah adalah sesuatu yang diletakkan wanita di dalam kemaluannya untuk mengetahui bekas haidh yang  tersisa.
b.   Apabila ia mendapatkan ash-Shufrah dan al-Kudrah pada saat masa suci, maka keduanya tidak teranggap sedikitpun se-bagai hukum haidh. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Athiyah, ‘ Kami tidak meng-anggap sedikitpun (cairan) darah berwar-na kuning dan warna keruh sesudah masa suci’.[HR Abu Dawud 307]

Adapun mengenai darah haidh yang keluar secara terputus-putus,dimana seorang wanita mendapatkan sehari keluar darah dan sehari lagi bersih (tidak mengeluarkan darah), maka hal ini juga memiliki 2 kondisi :
a.    Jika kondisi itu selalu terjadi pada seorang wanita setiap waktu, maka darah itu adalah darah Istihadhah (darah penyakit).
b.   Jika kondisi ini tidak selalu terjadi pada seorang wanita, tetapi kadangkala saja datang dan ia mempunyai saat suci yang tepat. Maka para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kondisi ketika tidak keluar darah. Apakah hal ini merupakan masa suci atau termasuk hukum haidh ? Pendapat paling pertengahan dalam hal ini yaitu pendapat Shohibul Mughni, sbb :
-          Jika terhentinya darah kurang dari 1 hari [yang dimaksud dengan terhenti-nya adalah terhentinya secara sempur-na, di mana ia tidak mendapatkan warna kuning dan warna merah, yang ia dapatkan hanyalah Al-Jifaf (kering) dan pada saat yang bersamaan ia tidak mendapatkan al Qashshatul Baidha’ (cairan putih)]. Maka yang benar, masa ini masih terhitung sebagai masa haidh, tidak teranggap suci.
-          Adapun jika ia mendapatkan bukti bahwa ia suci. Misalnya, ia mendapatkan cairan putih, maka yang benar masa ini ia telah dianggap suci, baik cairan tersebut sedikit atau banyak, kurang dari sehari atau lebih dari se-hari.

[Di sadur dari kitab Tammamul Minnah, Abu Abdirrahman Adil bin Yusuf Al Azazy, hal190-192].

MANDI TELANJANG


Soal :   Bolehkah kita mandi telanjang? [Abdullah – Situbondo].
         Jawab :       
Na’am diperbolehkan. Asalkan aktivitas tersebut dilakukan di tempat yang tertutup dan aman dari pandangan orang lain (selain istri/suami). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri pernah mandi telanjang. Ibnu Hajar (lihat fathul Bari 1/290) berkata: Ibnu Hibban meriwayatkan dari jalan Sulaiman bin Musa, bahwa ia pernah ditanya tentang suami yang melihat kema-luan istrinya, ia menjawab, “Aku pernah menanyakan hal itu kepada ‘Atha` dan ia berkata, “Aku pernah menanyakan kepada ‘Aisyah radhiyallahu anha lalu beliau menyebutkan hadits ini secara makna.” (yaitu hadits: Aku dan Nabi pernah mandi bersama menggunakan satu bejana dalam keadaan junub)”.  
Selain Rasulullah, Nabi Mûsa ‘Alaihis Salam pun pernah mandi telanjang [lihat hadits riwayat Al-Bukhâri no.278 dan Muslim no. 339] Al-Imam An-Nawawi Rahimahullahu berkata: “Boleh membuka aurat ketika dibutuhkan dalam keadaan sendiri tidak ada orang lain. Seperti ketika mandi buang air kecil berhubungan dengan istri dan semisalnya. Semua keadaan ini dibolehkan membuka aurat ketika sendirian. Adapun bila di hadapan orang lain maka haram membuka aurat dalam seluruh keadaan tersebut.”
[Syarh Muslim 4/32]. [www.bejanasunnah. wordpress.com – Muhammad Ayyub].

PULANG PUN SALAM



Soal : Apakah benar salam hanya di ucapkan saat kita datang dan tidak di syariatkan saat kita hendak berpaling/pulang? [TapanRejo – Banyuwa ngi].
         Jawab :       
Yang benar, kedua-duanya disyariatkan. Baik saat kita datang ke suatu majelis/bertamu maupun saat kita meninggalkan majelis/pamit pulang. Hal ini disandarkan pada tiga hadits berikut:

1.        Abu Hurairah Radhiyallâhu ‘Anhu menceritakan:

إِنَّ رَجُلاً مَرَّ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِيْ
مَجْلِسٍ، فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ. فَقَالَ: عَشْرَ حَسَنَاتٍ. فَمَرَّ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ، فَقَالَ: عِشْرُوْنَ حَسَنَةً. فَمَرَّ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ. فَقَالَ: ثَلاَثُوْنَ حَسَنَةً. فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ وَلَمْ يُسَلِّمْ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا أَوْشَكَ مَا نَسِيَ صَاحِبُكُمْ، إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الْمَجْلِسَ فَلْيُسَلِّمْ، فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يَجْلِسَ فَلْيَجْلِسْ، وَإِذَا قَامَ فَلْيُسَلِّمْ، مَا اْلأُوْلَى بِأَحَقَّ مِنَ اْلآخِرَةِ

Bahwa seorang laki-laki pernah melewati Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang pada saat itu beliau berada di majlis. Orang itu berkata, “Assalâmu ‘Alaikum.” Maka beliau bersabda, “Sepuluh kebaikan.” Kemudian lewat laki-laki lain, dan berkata, “Assalâmu ‘Alaikum wa Rahmatullah.” Maka beliau bersabda, “Dua puluh kebaikan.” Kemudian lewat lagi orang ketiga dan mengucapkan, “Assalâmu ‘Alaikum wa Rahmatullahi wabarakâtuhu.” Maka beliau bersabda, “Tiga puluh  kebaikan.” Lalu berdirilah seseorang dari majelis dan tidak mengucapkan salam, maka Rasu-lullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Alangkah cepatnya kawan kalian lupa! Apabila salah seorang di antara kalian datang ke suatu majlis maka hendaklah ia memberi salam, maka apabila ia berkenan untuk duduk maka duduklah, dan apabila ia hendak berdiri (meninggalkan majlis) maka hendaklah mengucapkan salam, (karena) tidaklah yang pertama lebih berhak daripada berikutnya.” [Maksudnya: salam ketika keluar sama dengan ketika masuk]. [HR. al-Bukhâri dalam Adabul Mufrad no. 986 Dishahihkan oleh Albâni dalam Shahih at-Targib.]

2.         Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا جَاءَ أَحُدُكُمْ المجَلِْسَ فَلْيُسَلِّمْ فَإِنْ رَجَعَ فَلْيُسَلِّمْ فَإِنَّ الأُخْرَى لَيْسَت بِأَحَقِّ مِنَ الأُوْلَى

“Apabila salah seorang di antara kalian datang ke majelis maka hendaklah mengu-capkan salam, dan apabila hendak pulang maka hendaklah mengucapkan salam, karena (salam) yang berikutnya tidak lebih berhak dari (salam) yang pertama.” [HR. al-Bukhâri dalam Adabul Mufrad no. 1007 Dishahih-kan oleh Albâni dalam ash-Shahihah (183)].

3.         Dari Abi Hurairah dari Rasulullah, beliau salallahu alihi wa sallam bersabda:

إِذَا جَاءَ الرَّجُلُ الْمَجْلِسَ فَلْيُسَلِّمْ ، فَإِنْ جَلَسَ ثُمَّ بَدَا لَهُ أَنْ يَقُومَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَ الْمَجْلِسُ فَلْيُسَلِّمْ ، فَإِنَّ الأُولَى لَيْسَتْ بِأَحَقَّ مِنَ الأُخْرَى

Apabila seseorang datang ke suatu majlis maka hendaklah ia memberi salam, apabila ia telah duduk kemudian tampak olehnya untuk berdiri (pergi) sebelum majelis bubar, maka hendaklah ia mengucapkan salam, karena (salam) yang berikutnya tidak lebih berhak dari (salam) yang pertama.” [HR.al-Bukhâri dalam Adabul Mufrad no. 1008 Dishahihkan oleh Albâni].
[www.bejanasunnah.wordpress.com – Muham mad Ayyub].

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan