Sabtu, 16 Juni 2012

KENCING TERUS-MENERUS






Soal : Bagaimana cara bersucinya orang yang berpenyakit kencing terus-menerus? Apakah setiap kali keluar kencing pada waktu shalat dia harus berwudlu? [Ahmad]
Jawab :


Seorang yang tertimpa penyakit salisil baul (kencing terus-menerus), tidak berhenti meski hanya sedikit, hendaklah ia mencuci pakaian badannya yang terkena kencing, begitu juga kemaluannya, ketika setiap waktu shalat telah masuk. Hendaklah ia tetap menjaga air ken-cingnya dengan membalut/menyumbat tempat keluarnya kencing agar tidak mengenai badan, pakaian, tempat shalat, atau masjid. Setelah itu dipersilakan wudhu. Demikian juga dengan orang yang keluar angin terus-menerus, hukumnya sama dengan orang yang selalu keluar air kencingnya. Adapun, orang yang selalu mengeluarkan air madzi, tidak pernah berhenti, setiap kali masuk waktu shalat, hendaklah ia memercikkan air ke pakaian yang diperkirakan terkena madzi, kemudian mencuci kemaluannya lalu berwudhu.




Ketiga macam orang di atas harus ber-wudhu setiap kali waktu shalat masuk (jika memang mereka mau mengerjakan shalat). Hu-kumnya persis dengan wanita mustahadhah (darah penyakit). Dengan wudhu tersebut, di-persilakan menggunakannya untuk shalat fardlu dan nafilah (sunnah) yang mengiringinya. Tidak masalah jika masih ada yang keluar, sebelum melakukan shalat/di tengah-tengah shalat-nya, sampai waktu shalat itu habis. Seseorang yang terserang salisil baul, harus menyediakan baju atau pakaian suci khusus untuk shalat (jika tidak memberatkan) karena kencing adalah najis. Tetapi, jika memberatkan, maka dima-afkan, sebab membersihkan kencing yang keluar terus-menerus sangatlah susah dan merepotkan.




Allah berfirman : ‘Maka bertakwalah kepada Allah menurut kemampuanmu.’ [QS. at-Taghabun : 16]. ‘Dan tidaklah Allah menjadikan bagi kalian kesulitan dalam agama ini.’ [QS. al-Hajj : 78]. ‘Tidaklah Allah membebani seseorang kecuali menurut kemampuannya.’ [QS. al-Baqarah : 286]. ‘Allah menginginkan kemudahan bagi kalian dan tidak menginginkan kesukaran bagi kalian.’ [QS. al-Baqarah :185]. Rasulullah juga bersabda, ‘Sesuatu yang aku perintahkan kepada kalian, maka lakukanlah semampu kalian.’ [HR. al-Bukhari dan Muslim 2/975]. Ketika mengerjakan shalat Jum’at, setiap dari mereka (yang menderita salisil baul) hendaklah berwudhu sebelum khutbah masuk, hingga membuatnya berkesem-patan mendengarkan khutbah dan mengerjakan shalat. [Lihat al-Mughni, Ibnu Kudamah 1/421 , Fatawa Lajnah Daimah lil Buhuts Ilmiyyah, 5/406 sampai 5/414, dan Fatwa Islamiyah 1/192].




Hendaklah dia tetap memohon kepada Allah agar dimaafkan dan diberkahi, di samping dia terus berusaha mencari obat bagi penyakitnya sesuai dengan jalan sya- riat selagi mampu.

PUASA SUNNAH RAJAB


PUASA SUNNAH RAJAB  


           Soal :   Bagaimana hukum puasa rajab ? Jika ada sunnahnya, dilakukan pada tanggal berapa saja ? [087750xxxx (Jember)].

    Jawab :       
Rajab berasal dari lafadz tarjib yang berarti mengagungkan. Dan menurut pendapat mayoritas, lafadz rajab termasuk musytaq (kata bentukan). Ini pendapat yang paling kuat, karena ia bentukan dari رجب فلانا artinya dia memuliakan dan mengagungkannya karena penghormatan orang arab kepadanya. Oleh itu, Rajab dikatakan al murajab (yang diagungkan, dimuliakan). Sehingga bulan Rajab ini bermakna bulan yang agung. Selain sebagai bulan yang agung, bulan Rajab juga termasuk dari bulan-bulan haram. Rasulullah  ber-sabda, ‘Sesungguhnya masa itu berputar, sebagaimana ketika Allah  menjadikan langit dan bumi, setahun 12 bulan. Empat bulan di antaranya adalah bulan haram, yang tiga berturut-turut yaitu Dzulqa’dah, Dzulhij-jah, dan Muharram, serta bulan Rajab, di antara Jumadil Akhir dan Sya’ban.
Al Qadhi Abu Ya’la berkata “ Dinamakan bulan haram karena mengandung 2 makna. Pertama, diharamkan berperang di dalamnya dan orang-orang jahiliyah pun meyakininya pula. Kedua, karena melanggar larangan-larangan pada bulan ini lebih berat dosanya di banding pada bulan selainnya, demikian pula ketaatan akan lebih besar pahalanya dibanding pada bulan selainnya.” [Zadul Masir, 3/432]
Hal senada juga disampaikan oleh Qatadah, beliau berkata ‘Melakukan kedhaliman pada bulan-bulan haram lebih besar dosanya dibanding berbuat kedhaliman di bulan-bulan selainnya, meskipun kedhaliman di setiap keadaan tetap besar dosanya’.” [Tafsir Ibnu Katsir 4/104]
Lalu bagaimana jika melakukan puasa sunnah di bulan Rajab ini, apakah akan menda-patkan pahala yang berlipat  atau sebaliknya akan mendapatkan dosa yang berlipat ?
Ketahuilah wahai kaum muslimin....... puasa itu merupakan ibadah, sedangkan ibadah sen-diri adalah perkara tauqifiyah (yaitu perkara yang membutuhkan dalil). Jadi, segala macam amalan ibadah kita baik itu berkaitan dengan puasa, shalat, dll hendaklah disandarkan pada dalil shahih dalam pelaksanaannya. Apabila ibadah tersebut dicontohkan oleh Nabi, maka kita mengikutinya. Tetapi jika tidak ada contoh-nya dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi, maka wajiblah kita meninggalkan ibadah itu. Beliau  bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ


“Barangsiapa yang mengamalkan sebuah amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka ia tertolak.” [HR Muslim].
Jika kita mau mencermati  perbuatan Rasulullah  dan menela’ah hadits-hadits Rasulullah , ternyata kita mendapati bahwa Rasulullah  tidak pernah melakukan ibadah khusus (baik shalat, puasa, dll) pada bulan Rajab ini, begitu juga tidak ada satu dalil shohih pun yang menjelaskan tentang keutama-an beribadah khusus dalam bulan ini.
Al Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Tabyin Al Ujab Fi Fadhli Rajab hal 11, berkata, “Tidak ada hadits shohih yang pantas untuk dijadikan hujjah dalam masalah keutamaan bulan Rajab, dengan puasa di dalamnya dan shalat malam khusus pada malam harinya”. Beliau juga berkata, “Hadits-hadits yang Sharih (jelas) yang terdapat dalam keutamaan Rajab atau keutama-an berpuasa di bulan ini secara penuh atau seba-gian harinya, terbagi pada 2 bagian yaitu lemah dan palsu.

Begitu pula Ibnu Qayyim Al Jauziyah [dalam Al Manar Al Munif, hal 96] berkata, “Setiap hadits yang menyebutkan puasa Rajab dan shalat pada sebagian malamnya, maka itu kedustaan yang diada-adakan”. Secara spesifik, tidak ada penjelasan tentang keutamaan Rajab. Namun,

secara umum kemuliaan Rajab masuk ke dalam bulan-bulan yang Haram dan terhormat di hadapan Allah.
       Sehingga apabila seseorang melakukan puasa sunnah seperti kebiasaan di bulan-bulan lainnya dan tidak berkeyakinan adanya keuta-maan khusus berpuasa di bulan Rajab, maka yang demikian diperbolehkan.

Adapun bagi mereka yang tidak punya kebiasaan berpuasa di bulan-bulan lainnya, lalu ia hendak berpuasa lantaran meyakini adanya keutamaan khusus berpuasa di bulan Rajab, maka yang demikian dilarang bahkan termasuk perbuatan bid’ah.
      
Oleh karena itu, Umar bin Khattab tidak segan-segan memukul tangan orang-orang yang berpuasa Rajab hingga meletakkannya di atas makanan dan berkata,

كُلُوْا فَإِنَّمَا هُوَ شَهْرٌ تُعَظِّمُهُ الجَاهِلِيَّةِ

Makanlah, karena ia tidak lain adalah bulan yang diagung-agungkan oleh orang-orang jahi-liyah” [HR Ibnu Abi Syaibah, dan di shahihkan oleh Syaikh Albani dalam Irwaul Ghalil 4/113].

Begitu juga Abu Bakar Ash-Shiddiq per-nah memecahkan bejana keluarganya lantaran mereka bersiap-siap untuk berpuasa di bulan Rajab, dan berkata, “Apakah kalian ingin me-nyerupakannya dengan bulan Ramadhan!“ [Lihat Majmu’ Al Fatawa 25/290].

Imam Abdullah Al Anshari (Seorang syaikh kenamaan dari Khurasan) berkata, “Jika berpu-asa di bulan Rajab itu baik, maka katakan pada-nya, mengamalkan kebaikan hendaknya sesuai dengan yang disyari’atkan Nabi . Bila kita tahu, bahwa itu dusta atas nama Nabi , maka hal itu keluar dari yang disyari’atkan, dan me-ngagungkannya termasuk perkara jahiliyyah, se-bagaimana yang dikatakan oleh Umar.” [Lihat Al-Amru Bil Ittiba’ Wan Nahyu “Anil Ibtida’, Imam Suyuti].

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan